Rumah Adat

Rumah Adat Indonesia

  1. 1  Rumah Panjang (Kalimantan Barat)

Prinsip Kebersamaan, Kesetaraan, dan Hidup Gotong Royong Masyarakat Dayak
Bermula dari Sabang melangkah menuju Merauke begitu banyak kebudayaan ditiap daerah. Kebudayaan mengenai asal usul daerah, adat istiadat, benda yang dikeramatkan dan kebiasaan masyarakat ditiap daerah dan juga masih banyak kebudayaan-kebudayaan ditiap daerah-daerah Indonesia yang belum diketahui oleh masyarakat secara umum.
Keberadaan rumah adat sebagai wujud material kebudayaan yang banyak terdapat di daerah-daerah di Indonesia memiliki nilai penting dalam sudut pandang sejarah, warisan, dan kemajuan masyarakat dalam sebuah fase peradaban tertentu.
Ada banyak rumah adat di Indonesia yang memiliki nilai sejarah dan nilai pengetahuan yang penting. Salah satu dari banyak rumah adat di Indonesia yang memiliki makna sejarah, representasi sebuah komunitas pada zamannya dan kemajuan sebuah peradaban adalah rumah adat Panjang.
Rumah adat bagi masyarakat Dayak provinsi Kalimantan Barat. Rumah adat panjang adalah rumah kebanggaan masyarakat Dayak. Rumah yang memiliki nilai sejarah, arsitektur dan kebudayaan yang kuat. Keberadaan rumah adat panjang di Kalimantan Barat terbilang sedikit dan terancam hilang. Saat ini, rumah adat yang ada merupakan kepunyaan orang Dayak Kabupaten Pontianak berada di desa Saham dan orang Dayak di kecamatan Embaloh Hulu masih memiliki tiga rumah panjang.
Rumah adat Panjang merupakan representasi dari kehidupan masyarakat Dayak yang hidup dengan prinsip kebersamaan, kesetaraan dan hidup gotong royong. Tidak ada kesenjangan antara orang miskin dan orang kaya. Rumah Panjang merangkul semua orang untuk bersama-sama hidup dengan rukun.  Masyarakat suku dayak mempunyai pandangan bahwa semua orang memiliki hak untuk hidup yang lebih baik. Maka dari itu keselarasan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum menjadi hal yang penting diperhatikan. Lebih dari itu, Rumah Panjang adalah Pusat Kebudayaan masyarakat Dayak. Rumah panjang tempat bagi segala aktivitas masyarakat Dayak.   
Aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat Dayak di rumah adat panjang adalah berkumpul dengan seluruh masyarakat dayak setempat, tempat tinggal dan tempat untuk saling berbagi antar masyarakat Dayak.
Ada bebrapa bagian rumah panjang yang mencerminkan kehidupan sosial mereka. Bagian depan rumah panjang digunakan untuk menjemur padi, bagian tengah dijadikan tempat untuk berkumpul dan bagian belakang dgunakan untuk keperluan memasak, tidur dan berkumpul antar anggota keluarga. Penempatan posisi tersebut merupakan cerminan pandangan dari masyarakat Dayak mengenai ranah-ranah sosial yang bersifat untuk publik dan privat.   
  1. 2.  Rumah Gadang (Minangkabau)

ARSITEKTUR TRADISIONAL MINANGKABAU
Salah satu unsur budaya Minangkabau yang secara lahiriah segera tampak sebagai ciri khas adalah Rumah Gadang. Arsitektur yang khas dengan fungsi yang khas Minangkabau itu merupakan salah satu un­sur budaya yang memperkaya khazanah budaya Nusantara.
Suatu ciri Rumah Gadang yang sangat menonjol adalah bentuk atapnya yang melengkung dan menjulang pada kedua ujungnya se­hingga dari arah depan tampak seperti kepala kerbau yang berbentuk runcing atau seperti bentuk perahu. Bentuk atap yang demikian anta­ra lain juga kita jumpai pada masyarakat Toraja di Sulawesi Selatan dan juga rumah tradisional daerah Tapanuli.
Bentuk kepala kerbau itu mungkin saja dapat dikaitkan dengan tradisi pemujaan arwah nenek moyang dari masa prasejarah melalui media megalit (budaya batu besar) yang peninggalannya memang sangat banyak terdapat di daerah Minangkabau, bahkan di Minang­kabau masih subur legenda tentang "kerbau yang menang", namun banyak yang memberi keterangan bahwa bagian menjulang pada ujung atap itu sebagai "gonjong rabuang membacuik" atau gonjong berbentuk rebung yang mencuat.
Arsitektur dan bagian-bagian Bangunan
Sesuai dengan pengelompokan masyarakat Minang, Rumah Ga­dang juga terdiri atas tiga model/tipe yakni:
1.     Rumah Gadang Gajah Maharam
2.     Rumah Gadang Rajo Babandiang
3.     Rumah Gadang Bapaserek.
A. Rumah Gadang Gajah Maharam
Rumah Gadang Gajah Maharam yang juga dikenal sebagai Rumah Gadang Koto Poliang, dapat dibedakan dengan gaya Rumah Gadang Rajo Babanding dan Rumah Gadang Bapaserek antara lain karena perbandingan antara panjang: lebar: tingginya menimbulkan kesan gemuk seperti gajah sedang mendekam. Ciri lainnya adalah beranjung pada kedua ujung kiri dan kanannya yakni ditinggikan dari lantai.
1.     Ukuran. Tentang ukuran secara matematika tidak diketahui, hanya dise­but dalam pepatah-petitih sebagai: "Selangkah gading, sepekik anak, sekejab kubin melayang, sekuat kuaran terbang, selanjar kuda berla­ri". Jadi ukuran sebuah Rumah Gadang tidak tertentu, tetapi yang penting selaras, serasi, indah dan semua fungsi terpenuhi.
2.    Tiang. Kayu untuk tiang diambil dari hutan secara bergotong-royong. Tiap-tiap tiang atau sekumpulan tiang mempunyai nama masing-masing, seperti: tiang tepi, tiang timban, tiang tengah, tiang dalam, ti­ang panjang, tiang selip dan tiang dapur. Sebelum digunakan kayu-kayu calon tiang itu direndam dalam lumpur di teba bertahun-tahun. Tiang-tiang dibuat indah, bersegi-segi dan diukir. Banyaknya segi ter­gantung besar kecilnya. Yang pahng kecil bersegi delapan, yang lebih besar bersegi 12 atau 16. Yang dimaksud indah tidak selalu harus lurus, ada pula yang bengkok. Rumah Gadang gaya Gajah Maharam dengan sembilan ruang ditambah anjung kiri dan kanan, memerlukan tiang 98 (sembilan puluh delapan) batang.
3.    Anjung. Anjung adalah tempat terhormat dengan meninggikannya bebera­pa puluh centimeter dari permukaan tanah.
4.    Atap. Rumah Gadang beratap ijuk. Pada bagian sambungan dan ping­giran bertatah timah. Sekarang fungsi ijuk banyak diganti dengan seng. Gonjongnya ibarat rebung yang mencuat dari tanah. Pada bagi­an gonjong ada yang berukir. Banyak pendapat lain tentang atap ru­mah gadang. Ada yang membandingkan dengan tanduk kerbau, atau perahu yang pertama mengangkut nenek moyang Minangkabau, bah­kan ada yang membandingkan dengan Buraq ("burak ka tabang").
5.    Batu tapakan, batu alas atau yang disusun di depan tangga, untuk alas cuci kaki sebelum orang naik tangga.
6.    Jenjang
7.    Pagar
8.    Halaman
9.    Lumbung, merupakan unsur amat penting pada Rumah Gadang
10.  Lesung dan lain-lain.
B. Rumah Gadang Rajo Babandiang
Dalam hal arsitektur tidak banyak perbedaan dengan jenis Gajah Maharam, hanya atapnya yang lebih tinggi dan lebih mencuat ke atas.
Pada bagian dalamnya tidak beranjang. Bagian yang tampak agak ditinggikan itu bukan anjung tetapi "tingkah".  Pada bagian belakang rumah ada bagian yang ditinggikan lebih kurang sama dengan tingkah dan disebut "bandua". Bagian luar belakangnya sama dengan Rumah Gadang Gajah Ma­haram.
C. Rumah Gadang Bapaserek
Bapaserek berasal dari kata "serek", berarti berperseret. Yang diseret adalah bagian belakangnya, sehingga kalau dilihat dari bagian belakang akan tampak lebih keluar dari bagian dinding luar anjungan.
Rumah Gadang ini ada anjungan tetapi hanya di sebelah kiri (ujung) dan lebih rendah seperti Rumah Gadang Rajo Babandiang, begitu juga banduannya.
Fungsi Rumah Gadang
Rumah Gadang Gajah Maharam adalah rumah adat sehingga diba­ngun, dirawat dan ditempati sesuai aturan adat. Rumah Gadang bu­kan milik perseorangan tetapi milik kaum, jumlahnya pada suatu kaum ditentukan oleh jumlah anggotanya. Rumah Gadang harus di­lengkapi dengan sawah, ladang, dan pandam pekuburan pula.
Kamar-kamar dihuni oleh anak perempuan sesuai dengan adat matrilineal, sedang yang memimpin adalah saudara laki-laki ibu.
Sebagai rumah adat yang juga berfungsi sebagai tempat musya­warah keluarga atau kaum tentang berbagai hal yang menyangkut masalah kehidupan dan penghidupan kaum itu.
Disamping fungsi secara keseluruhan, tiap-tiap bagian bahkan tiap-tiap tiang dari rumah adat ini mempunyai fungsi masing-masing.
Proses Pembuatan
Pembangunan Rumah Gadang perlu waktu yang panjang untuk mengumpulkan bahan, teknis pengerjaan dan tentu saja pengumpulan dana yang cukup banyak itu, sehingga sejak persiapan hingga siap di­huni memerlukan waktu beberapa bahkan belasan tahun.
Memang pembangunan dilasanakan secara bertahap dan setiap tahap selalu diawali dengan musyawarah. Tahap-tahap yang pokok adalah.
1.    Mencari "tonggak Tuo" (tiang tua atau tiang atama). Pekerja­an ini dilakukan oleh orang banyak secara terorganisasi baik. Hari baik dipilih, dilakukan upacara, kemudian rombongan yang terdiri dari orang-orang terpilih sesuai dengan fungsi atau keahliannya. Se­telah pilihan dijatuhkan lalu penebangan dan diangkut secara gotong royong kekampung disertai dengan upacara syukuran.
2.    Setelah semua bahan siap, selanjutnya proses mengerjakan secara bertahap. Acara yang paling penting tahap ini adalah "menagakkan tonggak tuo". Pekerjaan dilakukan dengan cara borongan, namun makan dan minum para tukang tetap dijamin. Pekerjaan di­lakukan dengan tertib, bagian-bagian dari kayu yang tampak biasanya diukir dengan pelbagai motif hiasan.
3.    Setelah seluruh pekerjaan selesai, tahap berikutnya adalah "menaiki" dengan upacara besar-besaran.
  1. 3.  Rumah Rakit (Bangka Belitung)

Kejayaan film Laskar Pelangi besutan Riri Reza dan Mira Lesmana turut mengantarkan Bangka Belintung ke puncak popularitas. Provinsi yang terdiri atas dua pulau utama ini memang menjadi latar pengambilan adegan demi adegan dalam Laskar Pelangi. Pesona alam mistis dan nyaris tak tersentuh membuat Bangka Belitung mendapat julukan baru: Surga Tersembunyi. Babel atau Bangka Belitung memang diberkahi banyak hal memikat. Sebut saja pantai dengan bebatuan vulkaniknya, pulau-pulau kecil nan menawan serta kekayaan etnis yang menjadi kekayaan tersendiri dan tak boleh dilewatkan. Keberagaman etnis ini mengantarkan Bangka Belitung sebagai wilayah dengan budaya yang kental. Warisan leluhur dalam lingkup budaya terlihat jelas dari rumah adat Bangka Belitung itu sendiri.


Eropa-Arab-Cina

Secara umum, rumah adat Bangka Belitung terkenal dengan gaya Melayu Bangka-nya. Konon, arsitektur rumah ini sudah ada sejak abad ke 15 silam dan pada perjalanannya mendapat banyak pengaruh dari kebudayaan Arab, Eropa bahkan Cina. Uniknya, meski digempur banyak kebudayaan dari berbagai sisi, karakter rumah adat Bangka Belitung justru muncul menjadi karakter bangunan baru yang menarik untuk disimak.

Jika diperhatikan secara seksama, rumah adat Bangka Belitung masih “mewarisi” gaya arsitektur Melayu Awal, Melayu Bubungan Limas dan juga rumah Melayu Bubung Panjang. Rumah Melayu Awal berupa rumah panggung dengan bahan utama kayu, rotan, bambu, daun-daun, akar pohon dan atau juga alang-alang. Rumah Melayu Awal ini menyumbang atap yang tinggi dan sedikit miring pada bangunan Bangka Belitung. Selain itu, ia juga dipermanis dengan beranda yang ada di depan rumah juga jendela atau bukaan yang banyak. Adapun bagian dalam rumah terdiri atas rumah induk atau ibu dan juga rumah dapur.

Adapun pada bagian tiangnya, rumah adat Bangka Belitung dipengaruhi oleh falsafah 9 tiang. Bangunan tradisional hampir selalu dijumpai berdiri dengan 9 tiang. Tiang utama bangunan terletak persis di bagian tengah rumah. Sementara itu bagian dinding lazim terbuat dari pelepah kayu, kadang juga buluh atau bambu. Uniknya, dinding ini sama sekali tidak dipermanis dengan cat dan semacamnya. Jadi, jika Anda menjumpai rumah adat Bangka Belitung terlihat lusuh, justru di situlah karakternya melekat!

Jika dicermati, rumah adat Bangka Belitung juga mengadopsi rumah Melayu Bubung Panjang. Hal ini terlihat dari penambahan bangunan di sisi badan rumah utama. Penambahan sisi rumah ini konon merupakan hasil akulturasi kebudayaan non-Melayu seperti Tionghoa. Adapun pengaruh Eropa atau kolonial terlihat pada tangga rumah yang diletakkan pada batu dan bentuknya dibikin melengkung. Selain dipengaruhi oleh rumah Melayu Awal, rumah Bubung Limas dan rumah Bubung Panjang, konon rumah adat Bangka Belitung ini juga mengadopsi gaya rumah Rumah Rakit. Hanya saja pengaruhnya tak sekuat rumah khas Melayu lainnya.

Jika Anda berkunjung ke Bangka Belitung, tak ada salahnya menyempatkan diri untuk menyambangi rumah adat di provinsi muda yang satu ini. Selain memperkaya khazanah keilmuan Anda, wisata rumah adat ini juga akan menambah inspirasi. Terutama jika Anda penggemar arsitektur tua di nusantara.
  1. 4.  Rumah Rakyat (Bengkulu)

Rumah adat daerah Bengkulu dinamakan Rumah Rakyat. Rumah Rakyat merupakan rumah panggung yang terdiri dari 3 kamar yaitu, kamar orang tua, kamar gadis, dan kamar bujang. Kolong dibawahnya untuk pb venyimpanan kayu dapur dan barang lainnya. Pada piintu masuk ruang tengah terdapat gambar Buraq, pertanda ketangguhan hati penduduknya menjalankan agama islam.
Rumah fRakyat terbuat dari kayu meranti dan dilengkapi dengan tangga masuk dari semen. Pada tiang depan rumah disebalah kiri biasanya terdapat tanduk kerbau. Hal ini menunjukkan bahwa yang punya runah pernah mengadakan upacara atau pesta perkawinan. Jumlah tanduk sesuai pula dengan banyaknya upacara atau pesta yang telah diadakan.
  1. 5.  Rumah Kasepuhan Cirebon (jawa Barat) 

ARSITEKTUR BERSEJARAH DI JAWA BARAT
Rumah Kasepuhan atau Keraton Kasepuhan (Cirebon) ditilik dari namanya (Keraton Kasepuhan), rumah ini memang bukan hunian biasa, melainkan tempat bermukim Raja/Sultan Cirebon, sekaligus pusat pemerintahan. Arsitektur bangunan (-bangunan) bersejarah ini merupakan perpaduan unsur budaya Islam, Hindu-Budhha, Kristen (Barat), dan Konfusianisme (China).
Keraton Kasepuhan didirikan sekitar tahun 1529 oleh Pangeran Cakrabuana, putra Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran. Keraton ini merupakan perluasan dari Keraton Pakungwati, yang merupakan keraton yang telah ada sebelumnya. Walaupun telah berusia tua, kompleks bangunan tradisional ini masih terawat dengan baik.
Bagian-bagian Keraton Kasepuhan Cirebon
Berikut adalah bagian-bagian penting yang terdapat dalam kompleks Keraton Kasepuhan:
·         Pintu Gerbang Utama Keraton Kasepuhan
Pintu gerbang ini terletak di sebelah utara, sementara pintu gerbang kedua berada di selatan kompleks. Gerbang utara disebut Kreteg Pangrawit  berupa jembatan, sedangkan di sebelah selatan disebut LawangSanga (pintu sembilan). Setelah melewati Kreteg (jembatan) Pangrawit akan sampai di bagian depan keraton. Di bagian ini terdapat dua bangunan, yaitu Pancaratna dan Pancaniti.
·         Bangunan Pancaratna
Berada di kiri depan kompleks arah Barat, berdenah persegi panjang, dengan ukuran 8 x 8 m. Lantai tegel, konstruksi atap ditunjang empat sokoguru di atas lantai yang lebih tinggi, dan 12 tiang pendukung di permukaan lantai yang lebih rendah. Atap dari bahan genteng, pada puncaknya terdapat mamolo. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat seba atau tempat yang menghadap para pembesar desa atau kampung yang diterima oleh Demang atau Wedana. Secara keseluruhan memiliki pagar besi.
·         Bangunan Pangrawit
Berada di kiri depan kompleks menghadap arah Utara. Bangunan ini berukuran 8 x 8 m, berantai tegel. Bangunan ini terbuka tanpa dinding. Tiang-tiang yang berjumlah 16 buah mendukung atap sirap. Bangunan ini memiliki pagar terali besi. Nama Pancaniti berasal dari panca berarti jalan, dan niti yang berarti mata atau raja atau atasan. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat perwira melatih prajurit, tempat istirahat, dan juga sebagai tempat pengadilan.
Halaman/kompleks dalam keraton kasepuhan Cirebon dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
·         Halaman Pertama
Setelah melewati Pancaratna dan Pancaniti selanjutnya memasuki halaman pertama. Untuk memasukinya, bisa melewati Gapura Adi atau Gapura Banteng. Gapura Adi berupa pintu gerbang berbentuk bentar berukuran 3,70 x 1,30 x 5 m menggunakan bahan bata. Gapura Adi ini berada di utara Siti Inggil. Gapura Benteng berupa pintu gerbang dengan bentuk bentar berukuran 4,50 x 9 m. Pintu ini lebih besar dan tinggi daripada Gapura Adi. Pada pipi tangga sebelah Timur terdapat stilirisasi bentuk banteng.
Halaman pertama merupakan kompleks Siti Inggil, di kompleks terdapat beberapa bangunan, antara lain:
1.    Mande Pendawa Lima, yang berfungsi untuk tempat duduk pengawal Raja.
2.    Mande Malang Semirang, yang berfungsi sebagai tempat duduk raja timadu menyaksikan acara di alun-alun.
3.    Mande Semar Timandu, adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat duduk penghulu atau penasehat raja.
4.    Mande Karesmen, yaitu bangunan sebagi tempat menampilkan kesenian untuk raja.
5.    Mande Pengiring yaitu bangunan sebagai tempat mengiring raja. Selain bangunan tersebut masih ada satu bangunan lagi yaitu bangunan Pengada. Bangunan ini berukuran 17 x 9,5 m, berfungsi sebagai tempat membagi berkat dan tempat pemeriksaan sebelum menghadap raja.
·         Halaman kedua
Halaman kedua dibatasi tembok bata. Pada pagar bagian Utara terdapat dua gerbang, yaitu Regol Pengada dan gapura lonceng. Regol Pengada merupakan pintu gerbang masuk halaman ketiga dengan ukuran panjang dasar 5 x 6,5 m. Gerbang yang berbentuk paduraksa ini menggunakan batu dan daun pintunya dari kayu. Gapura Lonceng terdapat di sebelah Timur Gerbang Pangada dengan ukuran panjang dasar 3,10 x 5 x 3 m. Gerbang ini berbentuk kori agung  (gapura beratap) menggunakan bahan bata.
1.    Halaman Pengada. Halaman Pengada berukuran 37 x 37 m yang berfungsi untuk memarkirkan kendaraan atau menambatkan kuda. Di halaman ini dahulu ada sumur untuk memberi minum kuda.
2.    Halaman kompleks Langgar Agung, merupakan halaman di mana terdapat bangunan kompleks Langgar Agung. Bangunan Langgar Agung menghadap ke arah Timur, memiliki bangunan utama dengan ukuran 6 x 6 m. Teras 8 x 2, 5 m. Jadi bangunan ini berbentuk “T” terbalik Karena teras depan lebih besar dari bangunan utama. Bagian teras berdinding kayu setengah dari permukaan lantai, kemudian setengah bagian atas diberi terali kayu. Dinding bangunan utama merupakan dinding tembok. Mihrab berbentuk melengkung berukuran 5 x 3 x 3 m. Di dalam mihrab tersebut terdapat mimbar terbuat dari kayu berukuran 0,90x 0,70×2 m. Atap Langgar Agung merupakan atap tumpang dua dengan menggunakan sirap. Konstruksi atap disangga 4 tiang utama. Langgar Agung ini memiliki halaman dengan ukuran 37 x 17 m. Langgar ini berfungsi sebagai tempat ibadah kerabat keraton. Bangunan Langgar Agung dilengkapi pula dengan Pos Bedug Somogiri. Bangunan yang menghadap ke Timur ini berdenah bujursangkar berukuran 4 x 4 m yang di dalamnya terdapat bedug (tambur). Bangunan ini tanpa dinding dan atap berbentuk limas, penutup atap didukung 4 tiang utama dan 5 tiang pendukung.
3. Halaman Ketiga
Halaman ketiga merupakan kompleks inti Keraton Kasepuhan. Di dalamnya terdapat beberapa bangunan seperti:
1.    Taman Bunderan Dewandaru. Taman ini berdenah bulat, telur terbuat dari batu cadas. Memiliki arti dari namanya, bunder, yang berarti sepakat. Dewa berarti dewa dan ndaru artinya cahaya. Arti keseluruhan adalah “orang yang menerangi sesama mereka yang masih hidup dalam masa kegelapan”. Luas taman 20 m2. Di taman ini terdapat nandi, pohon soko sebagai lambang bersuka hati, 2 patung macan putih merupakan lambang Pajajaran, meja dan bangku, 2 buah meriam yang dinamai Ki Santomo dan Nyi Santoni.
2.    Museum Benda Kuno. Bangunan yang menghadap Timur berbentuk “E”. Terdapat 2 pintu untuk memenuhi bangunan tersebut. Di sini disimpan benda-benda kuno Keraton Kasepuhan.
3.    Museum Kereta. Bangunan ini menghadap barat dan teat di Timur Taman Bunderan Dewandaru ini berukuran 13,5 x 11 m. Di Museum Kereta tersimpan kereta-kereta dan barang lainnya.
4.    Tunggu Manunggal. Bangunan ini berupa batu pendek ± 50 cm, dikelilingi 8 buah pot bunga yang melambangkan Allah yang satu zat sifatnya.
5.    Lunjuk. Bangunan yang menghadap Timur ini berukuran 10 x 7 m yang berfungsi melayani tamu dalam mencatat dan melaporkan urusannya menghadap raja.
6.    Sri Manganti. Bangunan ini berada di Timur tugu manunggal berbentuk bujursangkar. Bangunan ini terbuka tanpa dinding, bungbungan berbentuk joglo dan atap genteng didukung dengan 4 tiang soko guru, 12 tiang tengah dan 12 tiang luar. Langit-langit dipenuhi ukiran-ukiran yang berwarna putih dan coklat. Bangunan ini bernama Sri Manganti karena arti sri artinya raja, manganti artinya menunggu. Sehinggra artinya secara keseluruhan tempat menunggu keputusan raja.
7.    Bangunan Induk Keraton.Bangunan induk keraton merupakan tempat aktivitas Sultan, dalam bangunan ini terdapat beberapa ruangan dengan fungsi yang berbeda, yaitu :
·         Kuncung dan Kutagara Wadasan. Kuncung berupa bangunan berukuran 2,5 x 2,5 x 2,5 m yang digunakan parkir kendaraan sultan. Kutagara Wadasan adalah gapura yang bercat putih dengan gaya khas Cirebon berukuran lebar 2,5 m dan tinggi ± 2,5 m. Gaya Cirebon tampak pada bagian bawah kaki gapura yang berukiran wadasan dan bagian atas dengan ukiran mega mendung. Arti ukiran tersebut seseorang harus mempunyai pondasi yang kuat jika sudah menjadi pimpinan atau sultan harus bisa mengayomi bawahan dan rakyatnya.
·         Jinem Pangrawit, yaitu bangunan yang berfungsi sebagai serambi keraton. Nama jinem Pangrawit berasal dari kata jinem atau kajineman berarti tempat tugas dan Pangrawit berasal dari kata rawit berati kecil, halus atau bagus. Lantai marmer, dinding tembok berwarna putih dan dihiasi keramik Eropa. Atap didukung 4 tiang sokoguru kayu dengan umpak beton. Ruangan ini digunakan sebagai tempat Pangeran Patih dan wakil sultan dalam menerima tamu.
·         Gajah Nguling, yaitu ruangan tanpa dinding dan terdapat 6 tiang bulat bergaya tiang tuscan setinggi 3 m. Lantai tegel dan langit-langit berwarna hijau. Ruangan ini tidak memanjang lurus tapi menyerong (membengkok) dan kemudian menyatu dengan bangsal Pringandani. Bentuk ruangan ini mengambil bentuk gajah yang sedang Nguling (menguak) dengan belalainya yang bengkok. Ruangan ini dibangun oleh Sultan Sepuh IX pada tahun 1845.
·         Bangsal Pringgandani, merupakan ruangan yang berada di sebelah selatan ruangan Gajah Nguling. Ruangan ini memiliki 4 tiang utama segi empat berwarna hijau yang berfungsi sebagai tempat menghadap para Bupati Cirebon, Kuningan, Indramayu dan Majalengka. Sewaktu-waktu dipakai pula sebagai tempat sidang warga keraton.
·         Bangsal Prabayasa, berada di selatan bangsal Pringgandani. “Prabayasa” berasal dari kata praba artinya sayap dan yasa artinya besar. Kata-kata tersebut mengandung arti bahwa Sultan melindungi rakyatnya dengan kedua tangannya yang besar. Pada dinding ruangan terdapat relief yang diberi nama Kembang Kanigaran berarti lambing kenegaraan. Maksudnya Sri Sultan dalam pemerintahannya harus welas asih pada rakyatnya.
·         Bangsal Agung Panembahan, merupakan ruangan yang berada di selatan dan satu meter lebih tinggi dari bangsal Prabayaksa. Fungsinya sebagai singgasana Gusti Panembahan. Ruangan ini masih asli dan belum ada perubahan sejak dibangun tahun 1529.
·         Pungkuran, merupakan ruangan serambi yang terletak di belakang Keraton. Tempat ini berfungsi sebagai tempat meletakan sesaji pada waktu peringatan Maulid Nabi Muhamad.
·         Bangunan Dapur Maulud, berada di depan Kaputren dengan arah hadap Timur yang berfungsi sebagai tempat memasak persiapan peringatan Maulid Nabi SAW.
·         Pamburatan, merupakan bangunan yang berada di selatan Kaputren. Pambuaran artinya menggurat atau mengerik. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat mengerik kayu-kayu wangi (kayu untuk boreh) untuk kelengkapan selamatan Maulud Nabi SAW.
Keraton Kasepuhan dan Masyarakat
Hingga kini, Keraton Kasepuhan masih terawat dengan baik, dan sering kali menjadi pusat kegiatan masyarakat, terutma dalam ritus-ritus sosial budaya. Berikut adalah beberapa kegiatan rutin yang biasa digelar di Keraton Kasepuhan:
1) Syawalan Gunung Jati,
2) Ganti Welit,
3) Rajaban,
4) Ganti Sirap,
5) Muludan,
6) Salawean Trusmi, dan
7) Nadran. Selain menjadi pusat pelestarian budaya, Keraton Kasepuhan juga menjadi salah satu destinasi wisata di Jawa Barat.
Secara umum rumah adat Baduy merupakan rumah panggung yang hampir secara keseluruhan rumah menggunakan bahan bambu. Rumah adat baduy ini sendiri terkenal dengan kesederhanaan, dan dibangun berdasarkan naluri manusia yang ingin mendapatkan perlindungan dan kenyamanan.
Bangunan rumah adat Baduy dibuat tinggi, berbentuk panggung, mengikuti tinggi rendahnya/kontur permukaan tanah. Pada tanah yang miring dan tidak rata permukaannya, bangunan disangga menggunakan tumpukan batu. Batu yang digunakan adalah batu kali, berfungsi sebagai tiang penyangga bangunan dan menahan agar tanah tidak longsor.
Atap rumah adat baduy terbuat dari daun yang disebut sulah nyanda. Nyanda berarti sikap bersandar, sandarannya tidak lurus melainkan agah merebah ke belakang. Salahsatu sulah nyanda ini dibuat lebih panjang dan memiliki kemiringan yang lebih rendah pada bagian bawah rangka atap.
Bilik rumah dan pintu rumah terbuat dari anyaman bambu yang dianyam secara vertikal. Teknik anyaman tersebut dikenal dengan nama sarigsig tersebut dibuat hanya dengan berdasarkan perkiraan, tidak diukur terlebih dahulu. Kunci rumah dibuat dengan memalangkan dua buah kayu yang ditarik atau didorong dari bagian luar rumah.
Ada tiga ruangan dalam bangunan rumah adat ini, yaitu ruangan yang dikhususkan untuk ruang tidur kepala keluarga juga dapur yang disebut imah, ruang tidur untuk anak-anak sekaligus ruang makan yang disebut tepas, dan ruang untuk menerima tamu yang disebut sosoro.
Seluruh bangunan dibangun menghadap satu dengan yang lainnya. Secara adat rumah Baduy hanya diperbolehkan menghadap ke utara dan selatan saja.
Secara spesifik Henry H Loupias menyusun sebuah tulisan Mengenal Arsitektur Rumah Adat Baduy dalam upayanya memperkenalkan kearifan dan sinergisitas masyarakat Baduy. Seperti yang saya kutip secara keseluruhan di bawah ini:
 “Imah” dalam Arsitektur Baduy Dalam
Pada umumnya kehidupan sehari-hari suku-suku di pedalaman mengandalkan naluri, termasuk dalam upaya menyesuaikan serta menyelaraskan diri dengan lingkungan alam sekitarnya. Banyak teknik atau cara yang digunakannya tergolong berteknologi cukup “tinggi” dan mampu memprediksi kebutuhan hidupnya hingga masa depan.
Kecenderungan tersebut diperlihatkan secara jelas pada arsitektur vernakular suku Baduy Dalam di Kampung Cibeo. Bentuk dan gaya bangunan rumah tinggalnya sangat sederhana, dibangun berdasarkan naluri sebagai manusia yang membutuhkan tempat berlindung dari gangguan alam dan binatang buas. Kesan sederhana tersebut tersirat dalam penataan eksterior dan interiornya.
Seluruh bangunan rumah tinggal suku Baduy menghadap ke utara-selatan dan saling berhadapan. Menghadap ke arah barat dan timur tidak diperkenankan berdasarkan adat. Di samping itu, ada hal yang cukup menarik dan penting di kalangan suku Baduy, yaitu cara mereka memperlakukan alam atau bumi. Mereka tidak pernah berusaha mengubah atau mengolah keadaan lahannya-misalna ngalelemah taneuh, disaeuran, atawa diratakeun-untuk kepentingan bangunan yang akan didirikan di atasnya.
Sebaliknya, mereka berusaha memanfaatkan dan menyesuaikan dengan keadaan dan kondisi lahan yang ada. Hasilnya memperlihatkan permukiman yang alami. Bangunan-bangunan tersebut bagaikan sebuah kesatuan dari alam itu sendiri, berdiri berumpak-umpak mengikuti kontur atau kemiringan tanahnya.
Rumah tinggal suku Baduy Dalam termasuk jenis bangunan knock down dan siap pakai, yang terdiri dari beberapa rangkaian komponen. Selanjutnya, komponen-komponen tersebut dirakit atau dirangkai dengan cara diikat menggunakan tali awi temen ataupun dengan cara dipaseuk.
Konstruksi utamanya yang berfungsi untuk menahan beban berat, seperti tihang-tihang, panglari, pananggeuy, dan lincar, dipasang dengan cara dipaseuk karena alat paku dilarang digunakan. Justru teknik tersebut bisa memperkuat karena kedua kayu yang disambungkan lebih menyatu, terutama ketika kedua kayunya sudah mengering.
Sementara komponen seperti bilik (dinding), rarangkit (atap), dan palupuh (lantai) hanya sekadar diikat atau dijepit pada bambu atau kayu konstruksi. Oleh karena itu, bangunan rumah tinggal suku Baduy termasuk jenis bangunan tahan gempa karena konstruksinya bersifat fleksibel dan elastis.
Bangunan rumah tinggalnya berbentuk rumah panggung. Karena konsep rancangannya mengikuti kontur lahan, tiang penyangga masing-masing bangunan memiliki ketinggian berbeda-beda. Pada bagian tanah yang datar atau tinggi, tiang penyangganya relatif rendah. Adapun pada bagian yang miring, tiangnya lebih tinggi. Tiang-tiang penyangga tersebut bertumpu pada batu kali agar kedudukannya stabil.
Batu kali merupakan komponen yang cukup penting pula di lingkungan kampung suku Baduy. Selain digunakan untuk tumpuan tiang penyangga, batu kali juga digunakan sebagi penahan tanah agar tidak longsor. Caranya dengan ditumpuk membentuk benteng, atau dipakai untuk membuat anak tangga, selokan, ataupun tempat berjalan yang sangat berguna terutama jika musim hujan tiba.
Jenis atapnya disebut sulah nyanda. Pengertian dari nyanda adalah posisi atau sikap bersandar wanita yang baru melahirkan. Sikap menyandarnya tidak tegak lurus, tetapi agak merebah ke belakang. Jenis atap sulah nyanda tidak berbeda jauh dengan jenis atap julang ngapak. Jika jenis atap yang disebutkan terakhir memiliki dua atap tambahan di kedua sisinya, atap jenis sulah nyanda hanya memiliki satu atap tambahan yang disebut curugan. Salah satu atap pada sulah nyanda lebih panjang dan memiliki kemiringan yang rendah.
Rumah tinggal suku Baduy hanya memiliki satu pintu masuk yang ditutup dengan panto, yaitu sejenis daun pintu yang dibuat dari anyaman bilah-bilah bambu berukuran sebesar ibu jari dan dianyam secara vertikal. Teknik anyaman tersebut disebut sarigsig. Orang Baduy tidak mengenal ukuran seperti halnya masyarakat modern. Karena itu, mereka pun tidak pernah tahu ukuran luas maupun ketinggian rumah tinggal mereka sendiri.
Semuanya dibuat dengan perkiraan dan kebiasaan semata. Dalam menentukan ukuran lebar pintu masuk, mereka cukup menyebutnya dengan istilah sanyiru asup. Lebar pintu diukur selebar ukuran alat untuk menampi beras. Sebagian besar pintu tidak dikunci ketika ditinggalkan penghuninya. Akan tetapi, beberapa orang membuat tulak untuk mengunci pintu dengan cara memalangkan dua kayu yang didorong atau ditarik dari samping luar bangunan. Ruangan Inti
Pembagian interiornya terdiri dari tiga ruangan, yaitu sosoro, tepas, dan imah. Sosoro dipergunakan untuk menerima kunjungan tamu. Letaknya memanjang ke arah bagian lebar rumah. Selanjutnya, ruang tepas yang membujur ke arah bagian panjang atau ke belakang digunakan untuk acara makan atau tidur anak-anak. Antara ruangan sosoro dan tepas tidak terdapat pembatas. Keduanya menyatu membentuk huruf L terbalik atau siku.
Tampaknya bagian inti dari rumah suku Baduy terletak pada ruangan yang disebut imah karena ruang tersebut memiliki fungsi khusus dan penting. Selain berfungsi sebagai dapur (pawon), imah juga berfungsi sebagai ruang tidur kepala keluarga beserta istrinya.
Mereka tidak memiliki tempat tidur khusus, tetapi hanya menggunakan tikar. Alas tersebut digunakan hanya sewaktu tidur, setelah itu dilipat kembali dan disimpan di atas rak. Cara tersebut menunjukkan bahwa kegunaan imah sangat fleksibel dan multifungsi. Di sekeliling ruangan imah terdapat rak-rak untuk menyimpan peralatan dapur dan tikar untuk tidur.
Secara garis besar, yang dinamakan imah adalah sebuah ruangan atau bagian inti dari tata ruang dalam rumah tinggal suku Baduy. Hampir seluruh kegiatan berpusat pada ruangan tersebut, baik hal-hal yang bersifat lahiriah, seperti menyediakan makanan dan minuman, maupun hal-hal yang batiniah, termasuk menjalankan peran sebagai pasangan suami-istri dan kepala keluarga.
Melalui kegiatan bergotong royong seluruh kampung, dalam sehari mereka dapat menyelesaikan sekitar sepuluh bangunan rumah tinggal yang luasnya lebih kurang 100-120 meter persegi. Hal ini dapat terlaksana karena mereka tinggal memasang seluruh komponennya.
Di Desa Cibeo terdapat 80 rumah tinggal dengan 100 kepala keluarga. Saat pelaksanaan program, seluruh warga turun bergotong royong, bahu-membahu membantu tanpa pamrih. Mereka menyumbangkan bahan bangunan, komponen rumah, atau tenaganya. Hal itu merupakan bentuk kebersamaan kolektif yang masih kuat dan dipelihara di kalangan suku Baduy Dalam hingga kini.

No comments:

Post a Comment